Diagnosis dan Tatalaksana Difteri pada Anak
Abstract
Difteri adalah salah satu penyakit menular yang dapat menyebabkan kematian akibat infeksi bakteri. Penyakit ini disebab kan oleh bakteri Cornybacterium Diphtheriae yang mengenai sistem pernapasan dan mudah menularkan ke orang lain. Bedasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2020 disebutkan bahwa ada 4002 kasus difteri di Asia. Pada tahun 2021 di Indonesia tercatat ada 235 kasus difteri di Indonesia. Dalam masa inkubasi selama 2-4 hari, bakteri Cornybacterium Diphtheriae dapat mengalami lisogenisasi yang dapat menghasilkan toksin. Toksin tersebut masuk kedalam membrane sel target yang berikatan pada permukaan sel reseptor yang akhirnya mengalami endositosis dan menghambat sintesis protein sel. Diagnosis bedasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium. Konfirmasi laboratorium adalah dengan kultur atau PCR positif. Antibiotik berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan produksi toksin yang dapat menyebabkan kerusakan organ serta mengurangi penyebaran toksin ke seluruh tubuh. Penicilin merupakan antibiotic yang biasanya digunakan, namun golongan makrolid sekarang menjadi salah satu pilihan utama dalam terapi farmakologis difteri. Azithromycin dengan dosis 10 – 12 mg/kg sekali sehari (maximum 500 mg per hari). Erythromycin dengan dosis 10 – 15 mg/kg setiap 6 jam, maximum 500 mg per dosis atau 2gr/hari. Eksotoksin merupakan penyebab terjadinya komplikasi pada difteri. Beberapa penyulit yang disebabkan oleh toksin ini seperti miokarditis, dan obstruksi jalan nafas.
Diphtheria is one of the infectious diseases that can cause death due to bacterial infection. This disease is caused by the Cornybacterium Diphtheriae bacteria which affects the respiratory system and is easily transmitted to others. The data from the World Health Organization (WHO) in 2020 showed that there were 4002 cases of diphtheria in Asia. In 2021, there were 235 cases of diphtheria in Indonesia. During the incubation period of 2-4 days, Cornybacterium Diphtheriae bacteria can undergo lysogenization which can produce toxins. The toxin enters the target cell membrane which binds to the surface of the receptor cell which eventually undergoes endocytosis and inhibits cell protein synthesis. Diagnosis is based on anamnesis, physical examination, and laboratory. Laboratory confirmation is obtained through positive diagnosis or PCR. Antibiotics function to inhibit bacterial growth and toxin production that can cause organ damage and reduce the spread of toxins throughout the body. Penicillin is an antibiotic commonly used, but the macrolide type is now one of the main choices in pharmacological therapy of diphtheria. Azithromycin with a dose of 10-12 mg/kg once a day (maximum in diphtheria. Some complications are caused by this toxin such as myocarditis and airway obstruction.